Selasa, 04 November 2008

Sejarah Pijar Publishing 1

. Selasa, 04 November 2008

Sekitar April 2005 seorang lelaki kurus berusia 24 tahun dengan rambut lurus agak panjang, mengenakan jeans butut yang dilinting, sendal jepit dan batik pantai khas kota Jogja terlibat pada sebuah percakapan setengah serius setengah cekikikan, dengan lelaki 40an di sebuah warung apresiasi seniman (wapress) yang berdomisili di Taman Budaya Kalimantan Barat.


Percakapan tersebut terjadi saat malam menjelang puncak, ditemani sigaret 76 kretek dan gudang garam merah serta 2 kelas kopi bubuk, dua orang ini tampak asik berkutat dengan dunianya. Dunia kata-kata. Belakangan diketahui lelaki yang berusia agak tua dengan kumis tebal melintang di atas bibirnya ternyata salah seorang pelaku kesenian dalam hal ini sastra di kota Khatulistiwa. Entah sejak kapan, yang jelas, sudah sejak lama, lelaki ini berkiprah didunia kepenulisan. Panggil saja namana Pradono. Eksistensi, idealisme, serta kesetiaannya di dunia sastra Kalbar membuat siapapun yang mengenalnya merasa perlu untuk angkat topi dan mengatakan salut.Demikianlah, detik di arloji terus berotasi, malam terus mencapai puncak, pembicaraan semakin terlihat intens. Lelaki kurus 24 tahun itu baru mengenalnya malam itu, tetapi mereka terasa akrab, membicarakan dunia kepenulisan di Kalbar. Banyak pertanyaan dari yang lebih muda. Banyak penjelasan dari yang lebih tua. Bagaimana kondisi kesenian khususnya sastra di kota ini? Bagaimana peran media massa dalam mengakomodir karya-karya sastra lokal Kalbar? Seberapa sering diskusi dan agenda-agenda sastra digelar di Kota ini? Seberapa banyak komunitas sastra dan bagaimana eksistensinya di kota ini? Bagaimana sastra bisa membuat masyarakat kota ini terpengaruh, minimal mencintai dunia baca tulis? Ya, begitu banyak pertanyaan. Sebab lelaki muda ini merasa perlu banyak tahu. Terang saja. Hal itu dikarenakan dirinya baru saja pulang kembali ke tanah lahirnya setelah kurang lebih 6 tahun menapaki jejak kembara di kota tua bernama Jogjakarta dan sebuah kota metropolitan bernama Jakarta. Ya, begitu banyak pertanyaan, sebab lelaki muda ini memang perlu banyak tahu dikarenakan selama 6 tahun pengembaraannya banyak dihabiskan dalam dunia sastra. Sebuah dunia yang begitu mesra dalam dirinya. Dan saat pulang ke tanah kelahirannya, dia merasaperlu untuk terlibat dengan dunia yang begitu mesra dam dirinya. Kata-kata. Orang-orang mengenalnya dengan nama Pay Jarot Sujarwo. Saat malam mulai melewati puncak, saat pembicaraan semakin bertambah seru, muncul seorang lelaki yang begitu akrab dengan pradono dan begitu asing di mata Pay Jarot Sujarwo. Berpenampilan seperti mahasiswa. Jaket yang sering di pakai para aktivis kampus, tas slempang berisi tumpukan kertas-kertas. Dia duduk, ikut ambil bagian dalam pembicaraan, berjabat tangan, memperkenalkan dirinya dengan nama Amrin Zuraidi Rawansyah. Bagi Pay Jarot Sujarwo, peristiwa malam itu merupakan peristiwa yang enggan dilupakannya dalam memori kepala. Meski kadang menjelma kenangan. Meski kadang kenangan tak lebih dari setetes racun. Yang jelas, itulah malam pertama semenjak ia pulang ke Pontianak, dimana dalam dadanya kembali memancar pijar semangat untuk bergairah di dunia kepenulisan di Kota kelahirannya. Pontianak. Hari-hari berikutnya dilewati Pay dengan mengenal satu dua orang kawan baru. Belajar pengetahuan-pengetahuan baru. Menulis sajak-sajak baru. Menemukan kembali dunia yang baru. Yang begitu mesra dalam dirinya. Tapi tentu saja tidak semua hal yang baru dirasa menyenangkan dalam dirinya. Betapa tidak, sempat sesekali dua Pay mengurut dada. Menghadapi kenyataan bahwa ternyata dunia sastra di kota Pontianak, tak semesra yang ia harapkan. Begitu sering ia melewati malam di warung-warung kopi bersama orang-orang yang mengaku penulis atau pelaku kesenian lainnya. Begitu sering wacana-wacana mutakhir dahsyat hebat hmmm selemebet similikiti balak aduhai spektakuler etc etc bla bla bla, keluar untuk jadi bahan diskusi. Sebagai orang baru, Pay merasa perlu menunggu. Menunggu aksi apa yang akan dilakukan dalam rangka konkretisasi wacana malam tadi di warung kopi. Malam ini kembali ke warung kopi. Malam besok kembali ke warung kopi. Malam lusa kembali ke warung kopi. Kembali berwacana, berteori, memuji, menjelekan, mengutuk, mengapresiasi, berwacana, berteori. Hebat dahsyat spektakuler. TANPA AKSI!!! Ya, Pay merasa jengah. Meski ia masih meraba kondisi kesusastraan di Kotanya, tapi ia merasa perlu untuk menjadikan dunia kata-kata begitu mesra dalam hatinya. Dan kali ini tak terlalu banyak diskusi. Kalaupun ada teori, tak lebih dari persoalan teknis yang dirasa perlu. Tak menghabiskan banyak waktu. Pay Jarot Sujarwo, bersama Amrin Zuraidi Rawansyah, dan Yophie Tiara, melakukan hal yang mungkin biasa-biasa saja, tapi bisa jadi di Pontianak merupakan hal yang lumayan baru dan sempat juga dijadikan bahan pembicaraan. Ya, tiga orang muda ini melahirkan sebuah buku kecil berjudul Nol Derajat yang berisi kumpulan cerpen dan terbit secara independent di Kota Pontianak. Penerbitan indie buku kumpulan cerpen ini bukan merupakan hal luar biasa. Sebab dibelahan dunia Indonesia, yang namannya penerbitan independent begitu banyak jumlahnya. Namun, di Kota Pontianak, meskipun bukan yang pertama (karena sebelumnya Ahmad Azma, DZ telah melakukan hal serupa), peristiwa ini lumayan langka. Sayang waktu itu, ketiga anak muda ini masih dipenuhi dengan emosi yang meluap-luap sehingga sedikit lupa dengan yang namanya manajemen. Mentang-mentang buku indie, manajemennya pun manajemen indie. Al hasil, begitu banyak orang memuji terobosan Pay Amrin Yufita. Tapi di dalam diri mereka bertiga? Semrawut. Dan masing-masing personal merasa perlu untuk berjalan sendiri-sendiri dalam rangka menjadi makhluk profesional tanpa meningggalkan asas kekeluargaan yang sesuai dengan adab dan sopan santun ketimuran dan nilai-nilai dalam PPKN (ini adalah kalimat Amrin)

lanjut ke sejarah pijar publishing 2

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com